MENELISIK API, PERHATIAN, SENJA, DAN SPIRITUAL EKOLOGIS. Oleh Cholsverde (Pegiat Gugum Tapa dan Saung Sirkulasi)
Pameran tunggal Tiang Senja yang berjudul "Api dalam Titik Perhatian," yang berlangsung di Soboman 219 Art Space, Kasihan, Bantul, Yogyakarta dari 21 hingga 31 Agustus 2024, merupakan manifestasi mendalam dari eksplorasi artistik terhadap hubungan antara manusia dan lingkungan. Dihadiri oleh berbagai kalangan, mulai dari seniman, mahasiswa, hingga publik umum, dan menandai keterlibatan Senja dalam isu-isu lingkungan melalui karya seni, pameran ini diselenggarakan juga dengan turut serta kerja artistik Senja dengan penulis pameran: Arami Kasih, dan diresmikan oleh seniman perempuan Arahmaiani, bukan hanya berupaya menampilkan karya seni tetapi juga menegaskan sebuah dialog kritis mengenai isu-isu ekologis yang mendesak.
foto : (dari kiri) Tiang Senja, Arami Kasih, Arahmaiani
Tiang Senja, seorang seniman perempuan muda yang dikenal dirinya dengan seni abstrak, menggunakan pameran ini sebagai platform untuk mengekspresikan kegelisahan dan refleksi pribadi terhadap dampak lingkungan dari aktivitas manusia. Dalam momen pembukaan itu, juga dibuka dengan pertunjukan dari Kolektif Saung Sirkulasi yang mengajak pengunjung interaktif dengan material yang penuh arang, asap, dan cahaya, mengundang audiens secara interaktif untuk mengeksplorasi lapisan makna yang lebih dalam dari fenomena alam ini, baik sebagai simbol emosional maupun sebagai manifestasi dari krisis ekologis.
foto : Performance di pembukaan oleh Kolektif Saung SirkulasiPameran tunggal "Api dalam Titik Perhatian" oleh Tiang Senja merupakan sebuah eksplorasi artistik yang mendalam, di mana api tidak hanya dihadirkan sebagai elemen visual tetapi juga sebagai metafora kompleks yang melibatkan berbagai dimensi pengalaman dan simbolisme. Untuk memahami kedalaman pameran ini, penting untuk menerapkan elaborasi tafsir yang beragam, termasuk dalam kemungkinan pada pandangan Maurice Merleau-Ponty dan Jacques Derrida sebagai responsif dalam menafsirkan makna dan dampak dari karya-karya dalam pameran ini.
Tidak berlebihan, pandangan estetika Maurice Merleau-Ponty menawarkan wawasan penting tentang bagaimana kita mengalami seni dan dunia di sekitar kita. Merleau-Ponty berpendapat bahwa pengalaman estetis melibatkan seluruh tubuh dan persepsi sensorik, tidak hanya pengamatan visual terhadap objek semata. Dalam pandangannya, seni melibatkan interaksi dan pembacaan kausalitas yang lebih mendalam antara individu dan karya seni, di mana pengalaman tubuh pada sensori berperan penting dalam membentuk makna. Ini berlawanan dengan pandangan tradisional yang memisahkan penglihatan objek sekedar api yang dalam satu simbolik tunggal yang terpisah pada keberagamannya, dari pengalaman fisik dan emosional.
foto : detail karya instalasi Tiang SenjaDalam pameran "Api dalam Titik Perhatian," Tiang Senja menggunakan api sebagai metafora yang melampaui objek tunggal dan mengedepankan eksperimentasi fungsi visualnya, menjadikannya pusat dari narasi artistik yang lebih dalam dan luas. Terlihat pada instalasi nya yang menampilkan sisa pembakaran api, dalam konteks pameran ini, tidak hanya berfungsi sebagai kekuatan destruktif tetapi juga sebagai tafsir pergeseran dan transformasi. Seperti yang dikatakan Senja, api bukan sekadar elemen visual atau simbol. Bagi dirinya, api adalah emosi yang menggelora dan mampu menjadi Titik Perhatian pada refleksi yang mendalam tentang kompleksitas kehidupan. Ia merenungkan bagaimana api, dengan segala kompleksitasnya, memancing empati, kegelisahan, dan kekhawatiran yang dalam. Pengalaman-pengalamannya memberikan inspirasi untuk mengekspresikan kegelisahan dan dorongan yang kuat yang tersirat dalam kompleksitas api dan lingkungan, melalui aktivitas kreatif dalam mencipta. Penggunaan bahan-bahan seperti arang, ranting, besi, serta lainnya dalam instalasi Senja menciptakan pengalaman sensorik yang melibatkan lebih dari sekadar penglihatan terhadap api yang bersifat objektif. Pengunjung diundang untuk merasakan, melalui tekstur, efek pasca-pembakaran dari api, yang menciptakan sebuah interaksi embodied.
Kita dapat memahami bahwa pameran ini mendorong pengunjung untuk terlibat secara emosional dengan karya-karya tersebut. Instalasi yang menggunakan bahan-bahan seperti arang dan kayu tidak hanya menghadirkan api secara langsung dihadapan pengunjung, tetapi juga menciptakan pengalaman sensory yang kompleks melalui akibat dari pembakaran tersebut. Pengalaman ini melibatkan material yang lain dari bahan-bahan terbakar, tekstur dari arang yang hitam maupun putih, dan pengkomposisian yang terhubung dari karya ke karya, yang mungkin dapat membawa berjalannya interaksi pengunjung dengan instalasi.
foto : karya-karya Tiang SenjaSementara itu, dari pandangan Jacques Derrida mengajukan bahwa makna simbolik bersifat ambivalen dan tidak stabil. Kehadiran beberapa elemen yang mempunyai hubungan ekstrinsik dari api memiliki makna yang ganda dan saling bertentangan, yang mencerminkan ketidakpastian dan kompleksitas makna dalam teks dan tafsir. Pandangan berikut mengajak kita untuk mempertanyakan dan menafsirkan kembali simbol-simbol yang kita anggap stabil dan jelas, serta mengeksplorasi ambivalensi yang terkandung dalam kehadiran beberapa elemen yang terhubung tersebut.
Api dalam pameran ini berperan juga sebagai koneksi ambivalen yang mengandung makna ganda. Api sebagai kekuatan pembersih sekaligus penghancur menggambarkan ketidakstabilan dan ambiguitas dari perubahan ekologis. Cenderung meragukan narasi-narasi tunggal atau kesatuan makna tunggal untuk membuka kemungkinan yang lain, Senja tidak hanya mengeksplorasi estetika visual api yang dramatis, tetapi ia juga berupaya untuk merenungkan bermacam makna dan menggugah ekspresi, emosional, eksplorasi, dimensi, kreativitas dan kebebasan ber-Artistik.
Melalui tafsir yang meninjau api sebagai jendela dalam momen pasca padamnya api lewat abu dan tekstur dalam karyanya ke dalam kompleksitas ekologis hari ini, terlihat bagaimana hadirnya pertanyaan-pertanyaan kritis tentang permasalahan dan kedalaman yang sangat esensial. Hal ini tidak untuk mengidentifikasi dirinya sebagai aktivis lingkungan. Senja tetap memperhatikan peran alami api dalam ekosistem dan siklus kehidupan dengan rasa cinta, benci, emosi, serta gejolak jiwa yang membangkitkan intuisi estetis. Terlihat bagaimana upayanya menggabungkan unsur-unsur yang memicu refleksi mendalam mengenai dampak ekologis, sosial dan politik dari kebakaran dan polusi. Dalam karya "Grafik Hutan Nusantara" perubahan warna dari hitam ke abu-abu pada batang kayu yang digantung dengan besi, merongrong narasi objektivitas ilmiah.
foto : Karya Grafik Hutan Nusantara
Dengan mengaburkan batas antara data statistik dan pengalaman visual, karya ini semacam mengkritik cara data kebakaran hutan sering kali disajikan. Karya ini menggambarkan bagaimana data yang dianggap objektif sebenarnya merupakan konstruksi yang bisa diubah dan disajikan dalam berbagai cara yang emosional dan subjektif, membongkar ilusi tentang keakuratan dan ketepatan statistik.
Pameran ini menunjukkan bahwa api tidak hanya menghancurkan tetapi juga menciptakan ruang untuk transformasi dan pembaruan. Namun, ini juga menawarkan bagaimana tindakan manusia sebagai makhluk bermoral terhadap lingkungan sering kali menghasilkan konsekuensi yang jauh melampaui niat awal. Ketidakadilan ekologis yang digambarkan melalui visualisasi kebakaran hutan dan polusi mengungkapkan ketidakpastian dan ketidakadilan yang terjadi dalam hubungan antara manusia dan lingkungan bagi kontemplasi setiap subjek.
Di luar pengalaman setiap personal pada kecenderungan empirik kasus-kasus ekologis, lewat pameran ini, untuk meninjau ulang permasalahan lingkungan terlebih khususnya pada proyeksi api dan hutan, sangat mengajak kita untuk merenungkan kembali pada rasio pemikiran kesadaran tentang bagaimana kita berinteraksi dengan lingkungan kita—memungkinkan yang paling dekat, dan memahami dampak dari tindakan manusia terhadap ekosistem yang saling terhubung dan berdampak. Contohnya, dalam "Artefak Perjalanan Hutan" karya ini menciptakan hubungan ambigu antara teknologi modern dan kerusakan ekologis dengan menggantungkan elemen dasar kendaraan bermotor (skoks) dan kayu tua.
foto : Karya 'Artefak Perjalanan Hutan'
Karya ini membongkar pandangan konvensional tentang teknologi sebagai simbol kemajuan dengan menunjukkan bagaimana teknologi juga berperan dalam perusakan lingkungan. Dengan cara ini, Tiang Senja menyoroti ketegangan antara kemajuan dan kerusakan, menggugat ide bahwa kemajuan teknologi selalu berarti perbaikan. Di sisi lain, karya instalasi nya yang bertajuk "Pohon Kesadaran" mengungkapkan ambiguitas harapan di tengah kerusakan yang parah.
foto : Karya 'Pohon Kesadaran'
Pohon kering tanpa daun yang tampaknya berjuang untuk bertahan menjadi simbol harapan yang rapuh, dan bukan solusi definitif. Namun seiring pameran berlangsung, Senja mempersilahkan setiap pengunjung untuk menggantungkan sehelai kertas berwarna warni yang telah disediakannya untuk menulis suatu harapan masing-masing. Karya ini menggambarkan bagaimana harapan itu sendiri bisa lahir dari inisiatif kita masing-masing untuk tidak sekedar menjadi sumber kekeringan akan ketidakpastian dan konflik, membongkar anggapan bahwa inisiatif setiap person merupakan harapan atau bahkan jawaban yang mampu menggerakkan hati terhadap krisis lingkungan.
Dengan meninjau tajuk yang berproyeksi pada api sebagai tafsir luas yang melibatkan kekuatan pembersih dan penghancur, sesungguhnya tidak hanya menggambarkan realitas ekologis tetapi juga mengundang refleksi mendalam mengenai makna simbolik dan konsekuensi dari perubahan lingkungan. "Api dalam Titik Perhatian" menjadi ruang bagi dialog kritis mengenai isu-isu penting ini, mengajak kita untuk mengeksplorasi hubungan kita dengan dunia di sekitar kita dengan cara yang lebih peka dan reflektif atau juga artistik dan kreatif dalam fungsi kehidupan kita dari yang paling dekat dan luas.
Dalam signifikansi historis dan kultural, api memiliki peranan yang sangat penting dalam sejarah manusia. Sejak zaman prasejarah, api telah menjadi elemen yang krusial untuk kelangsungan hidup manusia—untuk memasak makanan, memberikan panas, dan melindungi dari predator. Kegunaan dan pengaruh api ini telah menjadikannya elemen yang mendasar dalam berbagai budaya dan mitos. Hal tersebut juga terlihat dalam banyak tradisi filosofis dan spiritual, api sering dipandang sebagai simbol kekuatan, transformasi, dan pembersihan. Misalnya, dalam tradisi alkimia, api adalah unsur yang dapat mengubah materi dasar menjadi bentuk yang lebih murni atau lebih bernilai. Dalam konteks ini, api sangat mungkin dianggap fundamental karena kemampuannya untuk mentransformasikan dan mengungkapkan perubahan mendasar. Di sisi lain, sesungguhnya pameran ini menyentuh aspek budaya dan simbolik dari api, seperti penggunaannya dalam setiap budaya lokal di Indonesia, contohnya upacara adat di Bali. Api, dalam konteks upacara Kecak dan Ngaben, tidak hanya sebagai alat pembersihan, tetapi juga sebagai simbol transisi dan kerentanan. Pameran ini mengkritik pandangan yang mereduksi makna api menjadi sekadar instrumen yang nyaman bagi ritualistik dan sebaliknya, menyoroti bagaimana api dapat merepresentasikan proses perubahan yang lebih mendalam dan kontekstual dalam masyarakat modern. Misalnya, dalam "Mimpi Buruk" Tiang Senja memanfaatkan kontradiksi antara tempat tidur dan batang pohon yang terbakar untuk mengguncang narasi tradisional tentang keamanan dan perlindungan.
foto : karya 'Mimpi Buruk'
Tempat tidur, yang biasanya diartikan sebagai ruang perlindungan, diubah menjadi simbol kehampaan dan kerusakan. Struktur ini membongkar makna stabilitas dan kenyamanan, menggantinya dengan gambaran yang mengancam dan merusak. Dengan cara ini, Tiang Senja mengeksplorasi bagaimana representasi konvensional dapat menjadi medan pertempuran untuk kekuatan destruktif.
Api dikenal karena kemampuannya untuk mengubah materi secara fisik—mengubah padatan menjadi gas atau cairan, atau bahkan mengubah bentuk dan struktur. Transformasi ini mencerminkan perubahan mendalam yang dapat dialami oleh manusia dalam aspek emosional dan filosofis, menegaskan peran fundamentalnya dalam pemahaman kita tentang materi yang serba dengan mudah berubah atau yang biasa kita kenal sebagai temporary.
foto : Karya-karya Lukisan Tiang SenjaNamun di sisi lain itu, pameran tunggal oleh Senja ini menantang kita untuk melihat api dengan cara yang lebih kritis dan kompleks, mengundang audiens untuk memahami api tidak hanya sebagai elemen alam, tetapi juga sebagai penanda yang memuat makna berlapis dan sering kali bertentangan. Pameran ini membongkar konstruksi makna konvensional tentang api dan mengajak kita untuk mengeksplorasi cara baru dalam memahami hubungan manusia dengan api dalam konteks sosial dan ekologis modern, wabilkhususnya di Indonesia. Dalam pameran ini, sebenarnya api tidak dipandang sebagai entitas yang stabil dan definitif, melainkan sebagai simbol dinamis yang berperan dalam permainan makna yang kompleks. Sebagai contoh, kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatra sering dipandang sebagai bencana ekologis yang merusak. Namun, pameran ini memberikan daya gugat yang kuat pada audiens untuk melihat api sebagai elemen yang berperan dalam siklus ekologis yang lebih luas dan dalam, seperti merangsang regenerasi vegetasi dan mendukung biodiversitas sebagai sarana kesadaran. Pameran ini menolak narasi tunggal yang menganggap kebakaran sebagai semata-mata destruktif, namun memungkinkan memberikan suatu ajakan terhadap kritik dalam menghadapi persoalan yang tidak biner dan gampang tersumbat amarah. Justru estetis dari elemen arang yang padam dan bertekstur tersebut memberikan suatu renungan dan memungkinkan untuk lebih menyoroti bagaimana api juga dapat berfungsi sebagai agen pemulihan dalam ekosistem yang kompleks, diluar politik yang terjadi dalam pembangunan yang menganggap murah dan mudah untuk membuat lahan kosong untuk digarap.
foto : instalasi karya Mimpi BurukMelalui pendekatan dekonstruktif, pameran ini mendorong kita untuk mempertanyakan bagaimana makna kebakaran berubah tergantung pada perspektif sosial dan ekologis. Di Indonesia, kebakaran lahan gambut bisa dipandang secara berbeda oleh berbagai pihak: petani mungkin melihatnya sebagai bagian dari praktik pertanian tradisional, sementara aktivis lingkungan menganggapnya sebagai ancaman serius terhadap biodiversitas. Pameran ini mengajak audiens untuk merefleksikan bagaimana interpretasi kita terhadap api dipengaruhi oleh perspektif yang beragam dan bagaimana makna tersebut sering kali berlapis serta kontradiktif.
Dalam menutup pembahasan mengenai pameran "Api dalam Titik Perhatian" oleh Tiang Senja, penting untuk menggali lebih dalam dan mengkritisi potensi kehilangan esensi dalam konteks spiritualitas ekologis yang dikemukakan oleh senja, dikutip pada kolom komentar publikasi nya di Facebook. Meskipun pameran ini secara indah menggabungkan elemen estetika dan kritis dalam eksplorasi simbolik api, kita perlu mengingat bahwa dalam perjalanan ini, sering kali makna mendasar yang sebenarnya dapat tenggelam, yakni menggali lebih dalam pada nilai spiritualitas ekologis yang memungkinkan dapat menjawab pada konteks nenek moyang kita yang pernah melakukannya dalam aktivitas kehidupan saat itu? Hingga pada akhirnya memungkinkan kontekstualisasi pada kita di masa mendatang.
foto : karya instalasi oleh Tiang SenjaTiang Senja, dengan berbagai instalasinya yang menggugah, mengajak kita untuk merenungkan bagaimana api sebagai simbol dapat memicu refleksi mendalam tentang hubungan manusia dan lingkungan. Namun, kita tidak boleh terlena hanya oleh kehebatan teknik artistik dan simbolisme yang kaya. Dalam perjalanannya mengupas makna api, mulai dari pemusnahan hingga regenerasi, pameran ini sebenarnya berpotensi mengajak kita untuk sadar pada esensi yang lebih mendalam, yaitu sikap spiritual dan ekologis yang lebih integral, mengetahui turunannya terlebih dahulu untuk mencari pernyataan, sikap dan perbaikan.
Di dalam narasi spiritualitas ekologis, api tidak hanya diartikan sebagai kekuatan destruktif atau pembaru yang melambangkan siklus alam, tetapi juga sebagai simbol yang berhubungan erat dengan keberadaan dan keseimbangan ekologis. Meskipun pameran ini mengajak untuk kritis pada berbagai ambiguitas dan kompleksitas makna, dilain sisi pameran ini mengajak sadar akan pesan utama tentang tanggung jawab kita terhadap lingkungan. Esensi dari spiritualitas ekologis—yang menggarisbawahi keterhubungan dan ketergantungan kita dengan alam—kadang terabaikan dalam definisi-definisi tunggal yang telah mencengkram kita pada era sekarang.
Penting untuk mengingat bahwa spiritualitas ekologis tidak hanya berbicara tentang simbolisme dan interpretasi makna, tetapi juga tentang tindakan nyata dan kesadaran mendalam mengenai bagaimana setiap tindakan kita mempengaruhi ekosistem yang lebih luas. Dalam konteks pameran ini, ada risiko bahwa diskusi mendalam tentang simbolisme api dapat mengabaikan urgensi tindakan konkret dan perubahan perilaku yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan ekologis. Dengan kata lain, lewat pameran ini, kita diajak untuk menjadi lebih dari sekadar refleksi artistik dan intelektual; semacam Senja, ia terus menggali dan mendorong pemikiran dan tindakan yang berfokus pada keberlanjutan dan tanggung jawab lingkungan yang lebih luas.
Ketika kita menikmati dan merenungkan keindahan dan kompleksitas dari pameran ini, penting untuk tidak melupakan bahwa pesan inti dari spiritualitas ekologis harus melibatkan kesadaran dan tindakan langsung dalam menjaga dan memulihkan lingkungan kita. Api dalam pameran ini mungkin memperlihatkan keindahan dan kegelapan, tetapi esensi sebenarnya dari hubungan kita dengan lingkungan harus tetap dipertanyakan dan dijaga dengan penuh tanggung jawab, agar tidak hanya terjebak dalam lapisan-lapisan yang dipetakkan, tetapi juga menjangkau perubahan yang nyata dan berkelanjutan.
Cholsverde
Penulis, Pelaku Seni, dan Pegiat Kolektif Gugum Tapa & Kolektif Saung Sirkulasi.
Yogyakarta, 2024.
Komentar
Posting Komentar